Rabu, 06 April 2016

Satukanlah Cinta, Walau Hati Lelah (Refleksi Hari AIDS Sedunia, 1 Desember)

Setiap 6 detik, 1 orang terinfeksi HIV”,

Fenomena HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang ditemukan lebih dari dua setengah dasawarsa lalu, tepatnya di Copenhagen, Denmark tahun 1979 disusul beberapa kasus serupa di San Francisco, Los Angeles, dan New York tahun 1981 terus mengalir menjadi bahan diskursus publik. Epidemi HIV/AIDS diposisikan sebagai salah satu malapetaka terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini. Secara global, lebih dari 65 juta orang telah terinfeksi virus HIV, termasuk di Indonesia.
Sayangnya, persoalan HIV/AIDS yang terjadi di Indonesia saat ini lebih terekonstruksi sebagai isu politik ketimbang esensi pokoknya, yaitu masalah kemanusiaan. Melihat kondisi objektif di lapangan saat ini, persoalan HIV/AIDS tidak semata-mata persoalan moral dan kesehatan masyarakat, tetapi telah berkembang menjadi masalah kemanusiaan yang cukup serius, terutama berkaitan dengan stigmatisasi dan diskriminasi  bagi ODHA.
Dilihat dari kacamata psikologis, tindakan stigmatisasi dan diskriminasi  bagi ODHA sesungguhnya telah menjadi bagian dari tindakan membunuh penderita dengan cara-cara yang lebih keji daripada “daya bunuh” penyakit AIDS itu sendiri. Bagaimana tidak, ODHA dibunuh dengan rasa bersalah, takut dan malu. Akibatnya selama bertahun-tahun mereka tidak berani keluar rumah hingga kematiannya. Bahkan tak hanya bagi ODHA, perlakuan tidak adil itu kadang juga dialami para anggota keluarga, kerabat, dan sahabat dekat ODHA.
Melihat kondisi demikian, kampanye penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi  HIV/AIDS merupakan permasalahan yang harus segera diprioritaskan, bukan hanya karena persoalan tersebut merupakan tema kampanye AIDS dunia pada tahun 2002 dan 2003, tetapi stigmatisasi dan diskriminasi yang disebabkan HIV/AIDS juga berdampak luas pada kondisi psikologis generasi mendatang. Anak-anak yang harus bertahan hidup ketika kedua orangtuanya meninggal karena AIDS misalnya, harus pula menanggung beban stigmatisasi dan diskriminasi, meskipun anak itu sendiri sehat dan bersih dari virus HIV.
Barangkali kondisi di Indonesia tak jauh berbeda dengan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS di tingkat dunia yang  secara umum masih sangat parah. Dapat dilihat misalnya dari penelitian mengenai Stigma AIDS yang dilakukan AS pda tahun 2000. Hasilnya menunjukkan bahwa orang-orang yang terinfeksi virus HIV terus menerus dipersalahkan, khususnya yang tertular melaui hubungan seks atau jarum suntik bersama di anatar pengguna NAPZA.
Di Indonesia, data kuantitatif tentang masih adanya stigma dan diskriminasi ini bisa dilihat dari hasil survei akhir tahun 2001 oleh Yayasan Spiritia terhadap 42 responden pengidap HIV/AIDS di 10 provinsi di Indonesia Beberapa bentuk diskriminasi itu antara lain; penolakan  rumah sakit (RS), dokter, maupun perawat untuk melayani dan merawat ODHA, cara perawatan yang membeda-bedakan, pemberian informasi yang salah mengenai HIV/AIDS kepada pendamping dan keluarga ODHA, serta upaya pemaksaan untuk menjalani tes HIV/AIDS tanpa dilanjutkan dengan upaya konseling. Dalam pergaulan juga masih terjadi diskriminasi. 14% responden mengaku diperlakukan berbeda di lingkungan kerjanya, 7% tidak diikutsertakan lagi dalam kegiatan di lingkungannya, 12% dipisahkan dari keramaian (Bernas, 13 November 2002).
Evaluasi tentang berhasil tidaknya Indonesia dalam penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS akan terus menjadi dialektika yang tidak usang, bukan hanya dalam pencarian jawaban “berhasil” atau “tidak” menghilangkan stigmatisasi dan diskriminasi tersebut, tetapi berhasilnya penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS  di Indonesia pada konteks saat ini sebenarnya justru pada upaya yang terus menerus untuk mencegah terjadinya lebih banyak praktik-praktik stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS lagi di masyarakat. Dengan kata lain, pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan bagi ODHA harus segera dihentikan sesegera mungkin.
Memang, untuk menyimpulkan telah adanya kemajuan penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS  Indonesia bisa dilihat dari hiruk-pikuk diskusi di ruang seminar dan media, adanya kesadaran menerapkan jurnalisme empati ataupun bayaknya aktivis AIDS dari para artis ataupun ODHA yang berani berbicara tentang hak-hak penderita AIDS. Namun kenyataan itu barulah sebatas tataran wacana dan kasus per kasus saja, bukan praktik pada umumnya di lapangan, yaitu di masyarakat dan di seluruh media massa. Apalagi menggugat pelaku stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS di Indonesia saat ini belum memungkinkan dan sangat sulit dilakukan.
Tapi bagaimanapun tak ada kata pesimis jika semua pihak mau terus-menerus mengkampanyekan penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS disertai tindakan nyata. Tidak hanya lip service demi pamrih untuk diakui dunia internasional  sebagai bangsa yang memopunyai kepedulian besar terhadap epidemi HIV/AIDS.
Ada beberapa langkah yang kiranya merupakan solusi alternatif terbaik bagi masalah stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS  di Indonesia saat ini;

Pertama, mengubah paradigma bahwa persoalan HIV/AIDS bukan semata-mata persoalan moral, persoalan perilaku, masalah kesehatan masyarakat, tetapi merupakan masalah kemanusiaan yang harus ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat dengan menggunakan berbagai pendekatan. Tidak cukup hanya menggunakan pendekatan agama saja atau medis saja. Kedua-duanya harus digunakan secara sinergis dan berkesinambungan.

Kedua, Perlu dilakukan survei dan penelitian tentang yang menyeluruh tentang HIV/AIDS secara komprehensif dan berkala. Selama ini pemerintah masih  menggunakan data-data statistik lama tentang jumlah penderita. Padahal, boleh dikatakan bahwa data tersebut menunjukkan fenomena gunung es alias angka yang tidak up to date dan kurang valid mengingat tidak diperoleh dengan metode rekonselling pre dan post test. Akibatnya terjadi kecenderungan, perhatian pemerintah tereksan santai, lamban dan hanya memeriksa orang-orang yang berisiko tinggi terhadap penyakit ini, seperti kaum homoseks, PSK, dan waria. Padahal virus HIV dapat muncul di mana saja dan kapan saja, termasuk di kehidupan suami istri yang normal.

Ketiga, membangun atmosfer keterbukaan antara pemerintah, masyarakat dan ODHA. Suasana keterbukaan ini bisa dimotori oleh pemerintah, aktivis, LSM pemerhati AIDS. Selama ini kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ODHA diakibatkan tertutupnya masalah HIV/AIDS karena diangap sebagai aib yang sangat pibadi sifatnya. Akibatnya HIV/AIDS sulit didiskusikan. Dengan demikian sulit dicari pemecahannya. Seandainya perasan berbagi derita itu bisa ditumbuhkan, besar sekali manfaatnya. Semangat hidup yang dimiliki seorang ODHA akan memberi kekuatan hidup yang luar biasa baginya. Daya hidup tersebut akan meneguhkannya untuk terus bertahan. Sebaliknya, bila pengidap terus-menerus menyalahkan diri, tertutup  dan murung, ia akan semakin tersiksa. Karena itu, dukungan dan empati dari siapa pun amat membantu mengurangi penderitaanya.

Keempat, reaktualisasi peran media massa dalam pemberitaan HIV/AIDS. Pemberitaan media harus mengusung prinsip bahwa di dalam realitas sosial pada dasarnya terdapat interaksi sosial yang di dalamnya sarat potensi lahirnya korban. Jurnalisme harus memegang prinsip-prinsip humanitarian yang berangkat dari sensitivitas pertanyaan etis, tentang kemanfataan dan kerugian pihak yang diberitakan (Siregar, 2002). Media dalam hal ini dituntut menjadi wahana kampanye penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS melalui pemberitaannya dan memberi ruang bagi ODHA untuk “bersuara”.

Kelima, Setiap petugas pemberi pelayanan umum (public service) mulai dari tingkat bawah hingga atas harus memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada pengidap HIV/AIDS. Jika perlu, diberlakukan sanksi bagi pelanggar.

Keenam, Setiap kebijakan, program, pelayanan, dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat ODHA sesuai nilai-nilai kemanusiaan. Secara formal, nilai kemanusiaan ini terkandung dalam prinsip Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Sebenarnya masih banyak lagi langkah taktis-solutif untuk menghapuskan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS. Dengan catatan bahwa untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut memang tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu usaha keras dan dorongan dari semua pihak. Jika tidak, gembar-gembor tentang penghapusan stigmatisasi dan diskriminasi HIV/AIDS  hanya berhenti pada tataran konsep, slogan bahkan jargon semata.

“… Satukanlah Cinta, Walau Hati Lelah…”
Continue Reading...

Sabtu, 19 Maret 2016

Sering banget kan lihat anak kurang gizi? Baca artikel ini biar tau penyebabnya!!


Masalah kurang gizi di Indonesia merupakan suatu permasalahan dimana tubuh kekurangan suatu unsur kimia yang diperlukan untuk melakukan akitvitas, memelihara dan meningkatkan kesehatan tubuh yang unsur atau zat tersebut terdapat didalam makanan yang sekarang banyak terjadi di Indonesia. Karena factor ekonomi juga mengakibatkan masalah kurang gizi sehingga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan dan berbagai penyakit berbahaya lainnya. Apalagi Indonesia saat ini telah menyandang peringkat ke lima negara kurang gizi sedunia .
Sejauh ini permasalahan gizi di Indonesia ada dua jenis. Pertama, masalah gizi makro dimana disimpulkan dalam bentuk gizi kurang atau gizi lebih. Masalah gizi makro lebih ditekankan pada kekurangan konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan protein yang mengakibatkan komplikasi terhadap kesehatan dan yang kedua masalah gizi mikro yang berupa kekurangan gizi. Zat gizi yang dikelompokkan dalam masalah gizi mikro seperti kekurangan vitamin, mineral, air yang merupakan zat gizi pembangun dan sumber aktivitas sel-sel tubuh.

Golongan yang rawan terhadap masalah kurang gizi di Indoneisa seperti balita, anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui. Anak-anak yang kekurangan gizi akan mengalami berbagai gangguan seperti dalam hal pertumbuhan fisik, mental, dan intelektual yang mengkibatkan meningkatnya angka kematian dan berkurangnya kemampuan belajar, serta daya imun tubuh terhadap berbagai penyakit dan produktivitas bekerja. Kekurangan gizi pada ibu hamil dan menyusui berdampak buruk seperti catat pada janin karena pertumbuhan janin tidak sempurna bahkan kematian pada ibu dan anak, serta anak yang dilahirkan rentan teradap penyakit.

Masalah kurang gizi di Indonesia harus segera ditanggulangi dengan pendekatan khusus seperti memberikan edukasi tentang pengetahuan akan gizi kepada orang tua sehingga dapat membudidayakan bahan pangan bergizi seta dapat mengolahnya dengan baik tanpa merusak kandungan gizi pada pangan dan saat memberi makan pangan tersebut pada anak sehinnga dapat memenuhi gizi sehari-hari anak. Selain itu juga memberikan edukasi gizi pangan sehat tetapi kembali kepada kesadaran pada masyarakat itu sendiri dalam meningkatkan kesejateraan dan generasi muda yang sehat.


Penanggulangan gizi buruk di Indonesia

Banyak factor yang mempengaruhi gizi buruk ini seperti tingkat pendidikan kemiskinan, ketersediaan pangan, transportasi, adat istiadat, dan lain sebgainya. Masalah gizi buruk apabila tidak ditangani dengan serius maka akan berdampak buruk terhadap kelanjutan generasi di Indonesia. Dengan adanya perubahan cara pandang masyarakat akan lebih baik dalam mendukung perbaikan masalah gizi buruk di Indonesia maka perlu ditinjau pada objek yang menjadi permasalahan gizi buruk ini agar dapat mencapai jalan keluar secara optimal dan efektif. Masalah kurang gizi di Indonesia dpat diselesaikan dengan adanya keselarasan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Di samping peran pemerintah dalam pengawasan dan pendanaan, peran daerah juga penting dalam melaksanakan program gizi dan pangan.



 














Pemerintah Republik Indonesia dalam menangani masalah kurang gizi di Indonesia melalui pemanfaatan Posyandu, meningkatkan partisipasi masyarakat memantau pertumbuhan dan kebutuhan gizi anak balita, meningkatkat kemampuan petugas-petugas kesehatan, meningkatkan keluarga sadar akan gizi serta memberi supplement makanan tambahan, MP ASI dan pemberian vitamin A, membuat kerjasama lintas sektoral dan kemitraan serta melanjutkan kembali Sistem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk. Selain itu dalam mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia perlu dilakukan intervensi dalam cakupan investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan social terutama bagi kelompok yang beresiko tinggi terkena gizi buruk.

Ada beberapa intervensi yang dapat dilakukan pada ibu dan anak seperti intervensi terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping (MP-ASI), perilaku hidup bersih dan sehat serta pemantauan berat badan secara teratur, pemberian supplement mikro tambahan dalam hal asupan vitamin A, pil FE, garam beryodium, pemulihan terhadap gizi anak dalam keluarga yang kurang gizi, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil. Sementara itu program Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan suplemen taburia yang mengandung viatamin A, B, D, serta unsure seng yodium dan zat besi yang dapat meningkatkan nafsu makan pada balita dan mencegah anemia pada balita mencakup wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, NTB, NTT, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Continue Reading...